Jumat, 09 Desember 2011

LUKI ALI, FASHION PHOTOGRAPHY YANG SEBENARNYA


Salah satu subject dalam fotografi yang tergolong banyak peminatnya adalah fashion photography. Kesan glamour & prestise yang seringkali melekat pada profesi fashion photographer seringkali menjadi magnet yang kuat dalam menarikpeminat. Tapi apakah itu baik atau tidak, perdebatannya masih belum berakhir. Untuk itu, pada kesempatan kali ini kami menghadirkan seorang Luki Ali. Fashion photographer yang belakangan menjadi satu nama yang sangat diperhitungkan di bidangnya ini ternyata memiliki pemikiran dan spirit yang luar biasa matang.
Pada awalnya Luki hanyalah seorang pemuda yang senang mencari media untuk mengeluarkan unek-unek. “Saya suka nulis, musik, painting. Intinya cari cara untuk nuangin unek-unek.” Ungkapnya. Ia merasa perjalanannya di fotografi mungkin hanya jadi satu bagian dari proses eksplorasi yang masih terus dilakukannya.
Perkenalannya dengan fotografi terjadi ketika ia mendapat hadiah ulang tahun berupa kamera poket pada tahun 2005.

Iseng-iseng memotret hal-hal sederhanamalah berujung pada tawaran memotret untuk majalah. “saya sangat beruntung karena hampir nggak ada usaha untuk masuk majalah. Tapi kesempatannya
malah datang.” Tegasnya.Tahun 2007 Luki Ali belajar fashion photography selama 2 bulan di Italy. “di sana saya belajar sejarah, teknis, fashion, make up, hair style, branding, dan macam-macam.” Kenangnya. Setelah menyelesaikan pendidikannya Luki kembali ke Indonesia dan mulai merintis karirnya sebagai fashion photographer dan mendirikan majalah fashion photography DEW. Fashion photography menurut Luki adalah tentang menjual produk.

“Pentingsekali bagaimana seorang fashion photographer mengerti produk, market dan harga dan bagaimana cara menjual produk yang ia foto.” Tegasnya. “Bukan masalah style. Produk yang sama bisa aja gayanya berbeda di market yang berbeda. Untuk itu fashion photographer nggak boleh egois.” Lanjutnya. “Kita ini bukan artis. Kita hanyalah fashion worker” tegasnya lagi. Sayangnya Luki melihat banyak yang masih belum mengerti perbedaan mendasar antara fashion worker dan fashion people. “Banyak yang merasa being a fashion photographer is cool. Padahal enggak. It’s not cool at all.” Tegasnya. “Mungkin mereka merasa keren karena fashion photographer dapat undangan di mana-mana. Mulai dari fashion show sampai gathering lingkungan fashion.

Padahal sebenarnyacapek.” Sambungnya lagi. Luki beranggapan bahwa banyak orang tertarik menjadi fashion photography karena hanya melihat hasil dalam framenya saja. Tapi mereka tidak melihat prosesnya. Persiapannya. Di luar framenya yang begitu berantakan dan melelahkan. “Being a fashion photographer artinya harus up to date. Setiap tahun label mengeluarkan baju baru 4 kali. Itu baru dari 1 brand. Belum lagi termasuk make up, rambut yang juga ada trend yang terus berkembang. Jadi benar-benar melelahkan untuk keep up to datenya.” Tegasnya.

Masih berbicara mengenai fashion photo, Luki beranggapan bahwa pemahaman seorang fotografer terhadap produk yang difoto adalah harga mati. “picture harus telling a story tentang siapa yang pakai. Jadi bukan sekedar apa yang kita suka, tapi seperti apa penggunanya.” Ungkapnya. “Fotografer fashion nggak bisa memaksakanstylenya pada fotonya. Bisa jadi foto bagus tapi produknya nggak laku karena fotonya tidak sesuai dengan marketnya.” Sambungnya. Setiap negara juga punya ciri khas dan karakter fashion fotonya masing-masing. “New York kesannya dinamis, London lebih kea rah street, Paris mewah
tapi sedikit urakan.” Tegasnya. Luki melihat penting bagi Indonesia untuk menemukan karakternya. “Yang harus diperhatikan adalah jangan terlalu local karena jadi sulit dicerna market international. Jadi terkadang harus di-blend dengan bahasa universal”. Sambungnya.
Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright fashiongraphers 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all